OJK

OJK Terbitkan Aturan Baru untuk Perkuat Likuiditas Bank Syariah

OJK Terbitkan Aturan Baru untuk Perkuat Likuiditas Bank Syariah
OJK Terbitkan Aturan Baru untuk Perkuat Likuiditas Bank Syariah

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali memperkuat kerangka regulasi untuk industri perbankan syariah dengan menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) terbaru.

Langkah ini diambil untuk memastikan bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) semakin disiplin dalam pengelolaan likuiditas jangka pendek dan pendanaan jangka panjang, sekaligus memperkokoh struktur permodalan.

POJK Nomor 20 Tahun 2025 mewajibkan BUS dan UUS memelihara rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (net stable funding ratio/NSFR) minimal 100 persen.

Implementasi ketentuan ini dilakukan secara bertahap agar industri perbankan syariah dapat beradaptasi tanpa mengganggu operasional. Menurut Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK M Ismail Riyadi, aturan ini selaras dengan standar internasional Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB).

Tujuan utama POJK ini adalah memastikan ketersediaan likuiditas yang memadai dalam menghadapi dinamika ekonomi dan volatilitas pasar keuangan. Dengan LCR dan NSFR yang dikelola secara disiplin, BUS dan UUS dapat mengantisipasi risiko likuiditas yang mungkin timbul, sekaligus memperkuat kemampuan pendanaan jangka panjang yang stabil.

Pelaporan dan Publikasi Rasio Likuiditas

POJK menekankan perlunya penghitungan dan pemantauan likuiditas serta pendanaan stabil secara berkala, baik di tingkat individu maupun konsolidasi. Proses ini dimaksudkan agar risiko likuiditas dapat dikelola dengan transparan dan terukur.

OJK juga menetapkan mekanisme pelaporan bertahap mulai tahun 2026 hingga 2028. Dengan demikian, industri perbankan syariah diberikan waktu menyesuaikan sistem pelaporan keuangan syariah mereka. Langkah ini diharapkan membantu BUS dan UUS mengoptimalkan komposisi aset dan liabilitas, meningkatkan disiplin pengelolaan likuiditas, serta memperkuat kemampuan menghadapi berbagai skenario risiko.

Rasio-rasio yang dilaporkan secara berkala juga memungkinkan OJK melakukan pengawasan lebih efektif. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas sistem perbankan syariah sekaligus meminimalkan risiko gangguan terhadap fungsi intermediasi, yakni penyaluran dana dari penabung ke pihak yang membutuhkan pembiayaan.

Leverage Ratio Perkuat Struktur Permodalan Bank Syariah

Selain fokus pada likuiditas, OJK juga mengatur permodalan melalui POJK Nomor 21 Tahun 2025. Aturan ini mewajibkan setiap BUS memelihara leverage ratio minimal 3 persen setiap waktu. Pelaporan pertama dijadwalkan pada akhir triwulan pertama 2026, sementara publikasi dimulai September 2026.

Leverage ratio berfungsi sebagai indikator tambahan yang membantu bank mengembangkan bisnis secara proporsional terhadap kapasitas permodalannya, tanpa menghitung pembobotan risiko aset. Dengan adanya leverage ratio, BUS lebih mampu mengantisipasi dampak deleveraging pada berbagai skenario ekonomi.

Bagi BUS yang belum memenuhi threshold, OJK membuka peluang untuk mengajukan rencana perbaikan. Sementara itu, ketidakpatuhan terhadap ketentuan ini dapat berakibat sanksi administratif, baik denda maupun non-denda. M Ismail Riyadi menegaskan, POJK ini bertujuan memperkuat struktur permodalan BUS agar menjadi fondasi yang kuat bagi pertumbuhan perbankan syariah nasional dan daya saing global.

Implikasi dan Manfaat Jangka Panjang

Penerapan POJK baru ini tidak hanya sekadar memenuhi standar internasional, tetapi juga menciptakan industri perbankan syariah yang lebih tangguh dan efisien. Dengan likuiditas yang cukup dan struktur permodalan yang kuat, BUS dan UUS dapat menjalankan fungsi intermediasi dengan stabil.

POJK ini diharapkan mendorong optimalisasi pengelolaan aset dan liabilitas, serta mencegah praktik manajemen risiko yang berlebihan. Selain itu, regulasi ini mendukung transparansi kepada investor dan publik, sekaligus memberikan kepastian bahwa sistem perbankan syariah mampu menghadapi tekanan ekonomi maupun volatilitas pasar global.

Industri perbankan syariah di Indonesia kini berada di jalur yang lebih terukur, disiplin, dan selaras dengan praktik internasional. Dengan dasar permodalan yang kuat dan likuiditas terjaga, sistem perbankan syariah diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, mendukung inklusi keuangan, dan meningkatkan daya saing di pasar global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index